Pages

Rabu, 25 April 2012

PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN


PARTISIPASI POLITIK  PEREMPUAN

PEMBAHASAN

A1. Memperkuat Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia
Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The UN Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women - CEDAW) disahkan dan diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Dewasa ini, lebih dari dua puluh tahun sejak ditandatanganinya konvensi itu, lebih dari 170 negara telah meratifikasinya. Konvensi itu dapat dijadikan dasar untuk mewujudkan kesetaraan perempuan dan laki-laki dengan membuka akses dan peluang yang sama di arena politik dan kehidupan publik, termasuk hak memberi suara dan mencalonkan diri. Pemerintah telah bertekad untuk menempuh semua langkah yang diperlukan, termasuk legislasi dan tindakan-tindakan khusus yang bersifat sementara, sehingga kaum perempuan nanti dapat menikmati seluruh hak dan kemerdekaan asasi mereka. Akan tetapi masih banyak negara yang belum menerapkan langkah-langkah di atas.
Negara Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Politik Perempuan pada masa pemerintahan mantan Presiden Soeharto di tahun 1968. CEDAW diratifikasi pada tahun 1984. Pemerintah Habibie kemudian meratifikasi Protokol Opsi yang merupakan bagian dari Konvensi Perempuan. Belakangan ini pemerintah Indonesia bahkan telah mengambil beberapa langkah untuk melakukan berbagai tindakan yang ditujukan untuk menyempurnakan kebijakan yang menyangkut jender, terutama masalah gender mainstreaming, yang merupakan sebuah strategi penting yang termuat dalam Platform Aksi Beijing (Bejing Platform for Action). Keppres Nomor 9/2000 berisi arahan kepada semua sektor pemerintahan Indonesia untuk menerapkan gender mainstreaming ini. Namun terlepas dari berbagai ratifikasi di atas, banyak pihak mengeritik pemerintahan sekarang yang belum juga mengeluarkan produk hukum baru, atau merevisi UU yang ada untuk memenuhi seluruh persyaratan dari Konvensi tersebut.
Sepanjang tahun 2001, perdebatan tentang representasi dan partisipasi politik perempuan semakin meningkat dan mendominasi agenda politik, berkat gigihnya organsisasi-organisasi dan para aktivis masyarakat madani yang vokal menyuarakan isu ini. Salah satu isu terpenting yang mereka serukan adalah penerapan kuota 30 persen bagi perempuan dalam proses pemilu. Perdebatan yang terus berlanjut dan terkadang menimbulkan kontroversi seputar jender dan demokrasi itu diakibatkan oleh tiga faktor dari masa lalu Indonesia. Faktor pertama adalah kenyataan historis dan berkelanjutan tentang rendahnya representasi perempuan Indonesia di semua tingkat pengambilan keputusan. Di parlemen nasional, perwakilan perempuan hanya 9.2 persen dari total anggota parlemen, jauh lebih rendah dari ‘rekor’ periode sebelumnya, yakni 12.5 persen. Faktor kedua berkaitan dengan reformasi politik yang sedang bergulir. Transisi menuju kehidupan politik yang demokratis telah memperlebar peluang bagi perempuan dan sektor-sektor masyarakat lainnya untuk mengekspresikan pandangan mereka serta merumuskan dan menyuarakan tuntutan mereka tentang kesadaran dan kepekaan jender yang lebih besar di dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, legislasi, dan politik pemilu. Sedangkan faktor ketiga berhubungan dengan krisis ekonomi tahun 1997 yang menyulut maraknya tuntutan pada representasi perempuan di semua tingkatan dan seluruh aspek kehidupan politik. Krisis itu telah memperburuk kondisi hidup kaum perempuan, sehingga mendorong mereka bangkit menyuarakan kebutuhan mereka, sekaligus mempertahankan hak-haknya. Semua faktor di atas telah menciptakan suatu atmosfir di mana seluruh organisasi masyarakat madani, LSM, aktivis, politisi dan badan-badan internasional bisa bersuara dan secara bersama-sama mempengaruhi wacana dan arah kebijakan pemerintah menyangkut pelibatan perempuan Indonesia dalam kehidupan publik.
A1.1 Aktivitas-Aktivitas Jender International IDEA selama tahun 2002
Sejak tahun 1998, International IDEA telah banyak memberikan nasehat strategis kepada aktor-aktor nasional di pemerintahan dan organisasi masyarakat madani menyangkut berbagai opsi yang berhubungan dengan sistem pemilu serta administrasi lembaga-lembaga penyelenggara pemilu. Pada tahun 1999 IDEA mulai mensponsori berbagai prakarsa untuk memperkuat partisipasi politik perempuan, dengan melibatkan para perempuan anggota parlemen. Melalui suatu dialog dengan kelompok-kelompok yang dinamis dan progresif dari organisasi masyarakat madani, anggota-anggota parlemen, parpol dan akademisi, IDEA telah mengembangkan gender track Indonesia selama tahun 2002. Aktivitas-aktivitas jender itu difokuskan pada aspek partisipasi politik perempuan dengan tujuan utama memperkuat partisipasi perempuan Indonesia di bidang politik. Dengan demikian, proyek gender track ditujukan untuk mendorong dialog antar berbagai kelompok masyarakat, baik di tingkat nasional maupun internasional, meningkatkan pengetahuan berbagai kelompok yang bergerak menangani isu-isu jender, termasuk para anggota parlemen, anggota partai serta masyarakat luas, baik di tingkat nasional maupun propinsi.
Sebagai bagian dari rangkaian aktivitas tahun 2002, gender track International IDEA juga mengadakan program Asian Study Visit (Kunjungan Studi Asia) ke India, Thailand, dan Filipina yang diikuti para politisi dan aktivis Indonesia, dan dimaksud untuk saling bertukar pengetahuan dan pengalaman, dan lebih dari itu, meningkatkan dialog antar para peserta kunjungan dengan mitra-mitra mereka dari negeri tetangga. Program Kunjungan Belajar Asia itu juga ditujukan untuk meningkatkan jaringan kerja dan tukar pengetahuan dan pengalaman antar para delegasi Indonesia itu sendiri.
Program itu diikuti oleh 15 peserta perempuan dan pria, yang merupakan perwakilan dari sektor-sektor terpenting pemerintah, parpol-parpol dan masyarakat madani. Yang juga penting, para peserta diambil dari berbagai propinsi di Indonesia, termasuk Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Sumatra Utara.
B1. Menanti Partisipasi Politik Perempuan

Dalam buku Menuju Kemandirian Politik Perempuan (2008), Siti Musdah Mulia?perempuan pertama peraih doktor dalam bidang Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah?memahami tiga kategori peran dan posisi kaum perempuan. Pertama, perempuan sebagai anak. Kedua, perempuan sebagai istri. Ketiga, perempuan sebagai warga negara. Sebagai anak, seorang perempuan dinilai sejajar dengan kaum laki-laki. Sebagai istri, seorang perempuan bertanggung jawab secara adil terhadap keluarga. Adapun sebagai warga negara, seorang perempuan mendapat hak-hak dan tanggung jawab yang setara dengan kaum laki-laki.
 Pemikiran Musdah Mulia merupakan sebuah terobosan baru dalam rangka menjawab proses diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan di Indonesia. Sebab, diskriminasi tidak hanya dalam konteks sosial dan budaya, tetapi sudah memasuki wilayah politik kekuasaan. Oleh karena itu, pemikiran Musdah Mulia bisa dikatakan sebagai sebuah perlawanan terhadap sistem budaya patriarkhi.

Diskriminasi
Dalam konteks politik, peran dan posisi kaum perempuan di Indonesia memang masih mengalami diskriminasi. Fenomena semacam ini juga tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di negara-negara lain yang menganut sistem budaya patriakhi juga menunjukkan gejala yang sama. Kaum perempuan di beberapa negara di dunia masih buta terhadap politik. Tidak hanya di negara-negara Islam, tetapi negara-negara non Islam pun masih banyak didapati perempuan yang tidak memahami wilayah politik kekuasaan.
Sesungguhnya, masalah peran dan posisi kaum perempuan di wilayah publik merupakan bagian dari hak-hak asasi yang setiap manusia berhak memilikinya. Namun yang cukup ironis, kaum perempuan justru banyak yang belum memahami tentang hak-hak mereka. Oleh karena itu, para aktivis Feminisme memang perlu menggarap agenda advokasi, pendampingan, dan pendidikan politik.
Di Indonesia, jumlah perempuan mendominasi kaum laki-laki. Tetapi ironisnya, kaum perempuan di Indonesia masih banyak yang buta terhadap wacana politik. Akibatnya, peran dan posisi mereka di wilayah pengambil kebijakan masih sangat minim. Seolah-olah politik menjadi wilayah tabu bagi kaum perempuan.
Kita bisa mengambil sebuah kasus sewaktu sosok Megawati Soekarno Putri, putri mendiang  presiden pertama RI (Soekarno), mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 1999. Perdebatan apakah seorang perempuan berhak menjabat sebagai pemimpin atau tidak seolah-olah belum mencapai titik temu. Bagi umat Islam di Indonesia, kehadiran figur pemimpin perempuan memang menjadi kontroversi yang tak kunjung henti. Sekalipun kelompok cendekiawan Muslim modernis memperbolehkan kepemimpinan perempuan, tetapi tidak mudah bagi kelompok Islam tradisionalis yang masih berhaluan literalis.
Perdebatan masalah kepemimpinan perempuan dalam konteks politik merupakan sebuah konsekuensi logis bagi rakyat Indonesia yang mayoritas pendudukanya beragama Islam. Sebab, dalam catatan sejarah umat Islam, keberadaan kaum perempuan cenderung dipahami secara diskriminatif dan tidak adil. Sejarah umat Islam yang berawal dari sebuah bangsa dengan sistem budaya patriarkhi (bangsa Arab) memang sangat mempengaruhi dalam pemahaman ajaran-ajaran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ini. Ditopang dengan kapasitas pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam yang tidak memadai, maka sebagian besar umat Islam cenderung literalis dalam menerapkan ajaran Islam. Termasuk dalam hal ini bagaimana menempatkan peran dan posisi kaum perempuan di wilayah publik. Fenomena semacam ini juga amat dengan mudah ditemui di Indonesia. 
Quota 30%
Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, keberadaan pemimpin perempuan hanya sekali, yaitu sewaktu Megawati Soekarno Putri menjabat sebagai presiden. Tampilnya Megawati sebagai pemimpin bangsa telah mengubah paradigma umat Islam bahwa peran dan posisi kaum perempuan bisa sejajar dengan kaum laki-laki.
Sekalipun demikian, perjuangan menempatkan kaum perempuan setara dengan kaum laki-laki masih teramat berat. Sebab, konstruksi sosial bangsa Indonesia menempatkan kaum laki-laki lebih dominan dibanding kaum perempuan (budaya patriarkhi). Indikasinya terletak pada keterlibatan kaum perempuan yang belum proporsional pada jabatan struktural (pemerintahan).
Berdasarkan data BPS tahun 1999, jumlah pegawai negeri sipil (PNS) dari kaum perempuan tercatat sebanyak 36,9%. Padahal, jumlah kaum perempuan di Indonesia mendominasi kaum laki-laki. Data ini menunjukkan bahwa kaum perempuan belum mendapat tempat yang selayaknya di Indonesia.
Menurut Musdah Mulia (2008), berdasarkan data-data tahun 2002, posisi kaum perempuan di MPR masih sebesar 9%. Sementara posisi kaum perempuan di DPR malah baru 8%. Belum lagi di tingkat propinsi atau kabupaten. Dapat disimpulkan jika kaum perempuan masih menempati posisi yang minim.
Para aktivis gerakan Feminisme di Indonesia berperan besar bagi terciptanya keadilan bagi kaum perempuan. Perjuangan aktivis Feminisme di Indonesia cukup membuahkan hasil ketika pada tahun 2003, undang-undang yang mengatur keterlibatan kaum perempuan dalam politik kekuasaan berhasil disahkan. Quota 30% dalam UU No. 12 Tahun 2003, khususnya pada pasal 65, telah memberi ruang bagi partisipasi aktif kaum perempuan di Indonesia.
Walaupun keberadaan UU No. 12 Tahun 2003 telah menjamin keterlibatan partisipasi aktif kaum perempuan di pentas politik nasional, ternyata konstruksi sosial di Indonesia belum bisa menerima sepenuhnya. Sebab, pada hakekatnya sistem sosial bangsa Indonesia cenderung patriarkhi. Oleh karena itu, tidak sedikit kalangan aktivis Feminisme yang
menganggap UU No. 12 Tahun 2003 sebagai kebijakan ?setengah hati.? Sekalipun sudah mendapat payung hukum untuk terlibat langsung di pentas perpolitikan nasional, kaum perempuan tetap saja mengalami diskriminasi.
Baru-baru ini, problem ketidakadilan sosial dan politik yang dialami oleh kaum perempuan di Indonesia mendapat angin segar kembali. Disahkannya UU Pemilu 2009 dan UU Parpol tentang kewajiban partai-partai untuk mengusung quota 30% bagi kaum perempuan merupakan hasil perjuangan para aktivis Feminisme untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Perjuangan untuk mencapai kesetaraan bagi kaum perempuan, khususnya di bidang politik, memang masih panjang. Menurut laporan Monitoring Program Education For All (EFA) UNESCO tahun 2008, Indonesia, Bangladesh dan China diprediksikan bakal mampu meraih tujuan kesetaraan gender pada tahun 2015.
Laporan EFA UNESCO baru-baru ini jelas memiliki relevansi dengan iklim perpolitikan di Indonesia yang mulai berbenah. Pemberlakuan kuota 30% dalamUndang-undang Partai Politik (UU Parpol) dan Undang-undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) baru-baru ini merupakan sebuah indikasi bahwa peta perpolitikan di Indonesia sudah mulai menempatkan posisi bagi kaum perempuan. Namun yang patut dipertanyakan, sejauhmana kesiapan kaum perempuan sendiri dalam menghadapi tuntutan ini?
Peran aktif kaum perempuan di Indonesia jelas ditunggu untuk terlibat langsung dalam pentas perpolitikan nasional. Menanggapi tuntutan ini, apakah kaum perempuan sudah siap menerimanya?

Ilmu komputer

About Ilmu komputer

Author Description here.. Nulla sagittis convallis. Curabitur consequat. Quisque metus enim, venenatis fermentum, mollis in, porta et, nibh. Duis vulputate elit in elit. Mauris dictum libero id justo.

Previous
Next Post
Tidak ada komentar:
Write komentar

Get updates in your email box

Complete the form below, and we'll send you our recent update.

Deliver via FeedBurner