PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN
PEMBAHASAN
A1. Memperkuat Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia
Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (The UN Convention on the Elimination of all Forms of
Discrimination against Women - CEDAW) disahkan dan diterima oleh Dewan Umum
PBB pada tahun 1979. Dewasa ini, lebih dari dua puluh tahun sejak
ditandatanganinya konvensi itu, lebih dari 170 negara telah meratifikasinya.
Konvensi itu dapat dijadikan dasar untuk mewujudkan kesetaraan perempuan dan
laki-laki dengan membuka akses dan peluang yang sama di arena politik dan
kehidupan publik, termasuk hak memberi suara dan mencalonkan diri. Pemerintah
telah bertekad untuk menempuh semua langkah yang diperlukan, termasuk legislasi
dan tindakan-tindakan khusus yang bersifat sementara, sehingga kaum perempuan
nanti dapat menikmati seluruh hak dan kemerdekaan asasi mereka. Akan tetapi
masih banyak negara yang belum menerapkan langkah-langkah di atas.
Negara Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Politik
Perempuan pada masa pemerintahan mantan Presiden Soeharto di tahun 1968. CEDAW
diratifikasi pada tahun 1984. Pemerintah Habibie kemudian meratifikasi Protokol
Opsi yang merupakan bagian dari Konvensi Perempuan. Belakangan ini pemerintah
Indonesia bahkan telah mengambil beberapa langkah untuk melakukan berbagai
tindakan yang ditujukan untuk menyempurnakan kebijakan yang menyangkut jender,
terutama masalah gender mainstreaming, yang merupakan sebuah strategi
penting yang termuat dalam Platform Aksi Beijing (Bejing Platform for Action).
Keppres Nomor 9/2000 berisi arahan kepada semua sektor pemerintahan Indonesia
untuk menerapkan gender mainstreaming ini. Namun terlepas dari berbagai
ratifikasi di atas, banyak pihak mengeritik pemerintahan sekarang yang belum
juga mengeluarkan produk hukum baru, atau merevisi UU yang ada untuk memenuhi
seluruh persyaratan dari Konvensi tersebut.
Sepanjang tahun 2001, perdebatan tentang representasi dan partisipasi
politik perempuan semakin meningkat dan mendominasi agenda politik, berkat
gigihnya organsisasi-organisasi dan para aktivis masyarakat madani yang vokal
menyuarakan isu ini. Salah satu isu terpenting yang mereka serukan adalah penerapan
kuota 30 persen bagi perempuan dalam proses pemilu. Perdebatan yang terus
berlanjut dan terkadang menimbulkan kontroversi seputar jender dan demokrasi
itu diakibatkan oleh tiga faktor dari masa lalu Indonesia. Faktor pertama
adalah kenyataan historis dan berkelanjutan tentang rendahnya representasi
perempuan Indonesia di semua tingkat pengambilan keputusan. Di parlemen
nasional, perwakilan perempuan hanya 9.2 persen dari total anggota parlemen,
jauh lebih rendah dari ‘rekor’ periode sebelumnya, yakni 12.5 persen. Faktor
kedua berkaitan dengan reformasi politik yang sedang bergulir. Transisi menuju
kehidupan politik yang demokratis telah memperlebar peluang bagi perempuan dan
sektor-sektor masyarakat lainnya untuk mengekspresikan pandangan mereka serta
merumuskan dan menyuarakan tuntutan mereka tentang kesadaran dan kepekaan
jender yang lebih besar di dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, legislasi, dan
politik pemilu. Sedangkan faktor ketiga berhubungan dengan krisis ekonomi tahun
1997 yang menyulut maraknya tuntutan pada representasi perempuan di semua
tingkatan dan seluruh aspek kehidupan politik. Krisis itu telah memperburuk
kondisi hidup kaum perempuan, sehingga mendorong mereka bangkit menyuarakan
kebutuhan mereka, sekaligus mempertahankan hak-haknya. Semua faktor di atas
telah menciptakan suatu atmosfir di mana seluruh organisasi masyarakat madani,
LSM, aktivis, politisi dan badan-badan internasional bisa bersuara dan secara
bersama-sama mempengaruhi wacana dan arah kebijakan pemerintah menyangkut
pelibatan perempuan Indonesia dalam kehidupan publik.
A1.1 Aktivitas-Aktivitas Jender International IDEA selama tahun 2002
Sejak tahun 1998, International IDEA telah banyak memberikan nasehat
strategis kepada aktor-aktor nasional di pemerintahan dan organisasi masyarakat
madani menyangkut berbagai opsi yang berhubungan dengan sistem pemilu serta
administrasi lembaga-lembaga penyelenggara pemilu. Pada tahun 1999 IDEA mulai
mensponsori berbagai prakarsa untuk memperkuat partisipasi politik perempuan,
dengan melibatkan para perempuan anggota parlemen. Melalui suatu dialog dengan
kelompok-kelompok yang dinamis dan progresif dari organisasi masyarakat madani,
anggota-anggota parlemen, parpol dan akademisi, IDEA telah mengembangkan gender
track Indonesia selama tahun 2002. Aktivitas-aktivitas jender itu
difokuskan pada aspek partisipasi politik perempuan dengan tujuan utama
memperkuat partisipasi perempuan Indonesia di bidang politik. Dengan demikian,
proyek gender track ditujukan untuk mendorong dialog antar berbagai
kelompok masyarakat, baik di tingkat nasional maupun internasional,
meningkatkan pengetahuan berbagai kelompok yang bergerak menangani isu-isu
jender, termasuk para anggota parlemen, anggota partai serta masyarakat luas,
baik di tingkat nasional maupun propinsi.
Sebagai bagian dari rangkaian aktivitas tahun 2002, gender track
International IDEA juga mengadakan program Asian Study Visit (Kunjungan
Studi Asia) ke India, Thailand, dan Filipina yang diikuti para politisi dan
aktivis Indonesia, dan dimaksud untuk saling bertukar pengetahuan dan
pengalaman, dan lebih dari itu, meningkatkan dialog antar para peserta
kunjungan dengan mitra-mitra mereka dari negeri tetangga. Program Kunjungan
Belajar Asia itu juga ditujukan untuk meningkatkan jaringan kerja dan tukar
pengetahuan dan pengalaman antar para delegasi Indonesia itu sendiri.
Program itu diikuti oleh 15 peserta perempuan dan pria, yang merupakan
perwakilan dari sektor-sektor terpenting pemerintah, parpol-parpol dan
masyarakat madani. Yang juga penting, para peserta diambil dari berbagai
propinsi di Indonesia, termasuk Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa
Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Sumatra Utara.
B1. Menanti
Partisipasi Politik Perempuan
Dalam buku Menuju Kemandirian Politik Perempuan (2008), Siti Musdah
Mulia?perempuan pertama peraih doktor dalam bidang Pemikiran Politik Islam UIN
Syarif Hidayatullah?memahami tiga kategori peran dan posisi kaum perempuan. Pertama,
perempuan sebagai anak. Kedua, perempuan sebagai istri. Ketiga,
perempuan sebagai warga negara. Sebagai anak, seorang perempuan dinilai sejajar
dengan kaum laki-laki. Sebagai istri, seorang perempuan bertanggung jawab
secara adil terhadap keluarga. Adapun sebagai warga negara, seorang perempuan
mendapat hak-hak dan tanggung jawab yang setara dengan kaum laki-laki.
Pemikiran
Musdah Mulia merupakan sebuah terobosan baru dalam rangka menjawab proses
diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan di Indonesia. Sebab, diskriminasi
tidak hanya dalam konteks sosial dan budaya, tetapi sudah memasuki wilayah
politik kekuasaan. Oleh karena itu, pemikiran Musdah Mulia bisa dikatakan
sebagai sebuah perlawanan terhadap sistem budaya patriarkhi.
Diskriminasi
Dalam konteks politik, peran dan posisi kaum perempuan di Indonesia memang
masih mengalami diskriminasi. Fenomena semacam ini juga tidak hanya terjadi di
Indonesia, namun di negara-negara lain yang menganut sistem budaya patriakhi
juga menunjukkan gejala yang sama. Kaum perempuan di beberapa negara di dunia
masih buta terhadap politik. Tidak hanya di negara-negara Islam, tetapi
negara-negara non Islam pun masih banyak didapati perempuan yang tidak memahami
wilayah politik kekuasaan.
Sesungguhnya,
masalah peran dan posisi kaum perempuan di wilayah publik merupakan bagian dari
hak-hak asasi yang setiap manusia berhak memilikinya. Namun yang cukup ironis,
kaum perempuan justru banyak yang belum memahami tentang hak-hak mereka. Oleh
karena itu, para aktivis Feminisme memang perlu menggarap agenda advokasi, pendampingan,
dan pendidikan politik.
Di Indonesia, jumlah perempuan mendominasi kaum laki-laki. Tetapi
ironisnya, kaum perempuan di Indonesia masih banyak yang buta terhadap wacana
politik. Akibatnya, peran dan posisi mereka di wilayah pengambil kebijakan
masih sangat minim. Seolah-olah politik menjadi wilayah tabu bagi kaum
perempuan.
Kita bisa mengambil sebuah kasus sewaktu sosok Megawati Soekarno Putri,
putri mendiang presiden pertama RI
(Soekarno), mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 1999. Perdebatan
apakah seorang perempuan berhak menjabat sebagai pemimpin atau tidak
seolah-olah belum mencapai titik temu. Bagi umat Islam di Indonesia, kehadiran
figur pemimpin perempuan memang menjadi kontroversi yang tak kunjung henti.
Sekalipun kelompok cendekiawan Muslim modernis memperbolehkan kepemimpinan
perempuan, tetapi tidak mudah bagi kelompok Islam tradisionalis yang masih
berhaluan literalis.
Perdebatan masalah kepemimpinan perempuan dalam konteks politik merupakan
sebuah konsekuensi logis bagi rakyat Indonesia yang mayoritas pendudukanya
beragama Islam. Sebab, dalam catatan sejarah umat Islam, keberadaan kaum
perempuan cenderung dipahami secara diskriminatif dan tidak adil. Sejarah umat
Islam yang berawal dari sebuah bangsa dengan sistem budaya patriarkhi (bangsa
Arab) memang sangat mempengaruhi dalam pemahaman ajaran-ajaran agama Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad ini. Ditopang dengan kapasitas pemahaman terhadap
ajaran-ajaran Islam yang tidak memadai, maka sebagian besar umat Islam
cenderung literalis dalam menerapkan ajaran Islam. Termasuk dalam hal ini
bagaimana menempatkan peran dan posisi kaum perempuan di wilayah publik.
Fenomena semacam ini juga amat dengan mudah ditemui di Indonesia.
Quota
30%
Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, keberadaan pemimpin perempuan hanya
sekali, yaitu sewaktu Megawati Soekarno Putri menjabat sebagai presiden.
Tampilnya Megawati sebagai pemimpin bangsa telah mengubah paradigma umat Islam
bahwa peran dan posisi kaum perempuan bisa sejajar dengan kaum laki-laki.
Sekalipun demikian, perjuangan menempatkan kaum perempuan setara dengan
kaum laki-laki masih teramat berat. Sebab, konstruksi sosial bangsa Indonesia
menempatkan kaum laki-laki lebih dominan dibanding kaum perempuan (budaya
patriarkhi). Indikasinya terletak pada keterlibatan kaum perempuan yang belum
proporsional pada jabatan struktural (pemerintahan).
Berdasarkan data BPS tahun 1999, jumlah pegawai negeri sipil (PNS) dari
kaum perempuan tercatat sebanyak 36,9%. Padahal, jumlah kaum perempuan di
Indonesia mendominasi kaum laki-laki. Data ini menunjukkan bahwa kaum perempuan
belum mendapat tempat yang selayaknya di Indonesia.
Menurut Musdah Mulia (2008), berdasarkan data-data tahun 2002, posisi kaum
perempuan di MPR masih sebesar 9%. Sementara posisi kaum perempuan di DPR malah
baru 8%. Belum lagi di tingkat propinsi atau kabupaten. Dapat disimpulkan jika
kaum perempuan masih menempati posisi yang minim.
Para aktivis gerakan Feminisme di Indonesia berperan besar bagi terciptanya
keadilan bagi kaum perempuan. Perjuangan aktivis Feminisme di Indonesia cukup
membuahkan hasil ketika pada tahun 2003, undang-undang yang mengatur
keterlibatan kaum perempuan dalam politik kekuasaan berhasil disahkan. Quota
30% dalam UU No. 12 Tahun 2003, khususnya pada pasal 65, telah memberi ruang
bagi partisipasi aktif kaum perempuan di Indonesia.
Walaupun
keberadaan UU No. 12 Tahun 2003 telah menjamin keterlibatan partisipasi aktif
kaum perempuan di pentas politik nasional, ternyata konstruksi sosial di
Indonesia belum bisa menerima sepenuhnya. Sebab, pada hakekatnya sistem sosial
bangsa Indonesia cenderung patriarkhi. Oleh karena itu, tidak sedikit kalangan
aktivis Feminisme yang
menganggap UU No. 12 Tahun 2003 sebagai kebijakan ?setengah hati.?
Sekalipun sudah mendapat payung hukum untuk terlibat langsung di pentas
perpolitikan nasional, kaum perempuan tetap saja mengalami diskriminasi.
Baru-baru ini, problem ketidakadilan sosial dan politik yang dialami oleh
kaum perempuan di Indonesia mendapat angin segar kembali. Disahkannya UU Pemilu
2009 dan UU Parpol tentang kewajiban partai-partai untuk mengusung quota 30%
bagi kaum perempuan merupakan hasil perjuangan para aktivis Feminisme untuk
memperjuangkan hak-hak mereka.
Perjuangan untuk mencapai kesetaraan bagi kaum perempuan, khususnya di
bidang politik, memang masih panjang. Menurut laporan Monitoring Program
Education For All (EFA) UNESCO tahun 2008, Indonesia, Bangladesh dan China
diprediksikan bakal mampu meraih tujuan kesetaraan gender pada tahun 2015.
Laporan EFA UNESCO baru-baru ini jelas memiliki relevansi dengan iklim
perpolitikan di Indonesia yang mulai berbenah. Pemberlakuan kuota 30%
dalamUndang-undang Partai Politik (UU Parpol) dan Undang-undang Pemilihan Umum
(UU Pemilu) baru-baru ini merupakan sebuah indikasi bahwa peta perpolitikan di
Indonesia sudah mulai menempatkan posisi bagi kaum perempuan. Namun yang patut
dipertanyakan, sejauhmana kesiapan kaum perempuan sendiri dalam menghadapi
tuntutan ini?
Peran
aktif kaum perempuan di Indonesia jelas ditunggu untuk terlibat langsung dalam
pentas perpolitikan nasional. Menanggapi tuntutan ini, apakah kaum perempuan
sudah siap menerimanya?
Tidak ada komentar:
Write komentar